Tanah Beru: Tanahnya Para Pelaut


IMG_352.jpg

Yang mendasari perjalanan ini sebenarnya sederhana, demi menjawab pertanyaan ketika SD: apakah betul nenek moyang kita seorang pelaut? Seperti dalam lagu yang liriknya kira-kira berbunyi:

nenek moyangku orang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa

Jika ditelaah lebih jauh, lagu itu bercerita tentang nenek moyang orang Indonesia yang konon katanya gemar melaut. Untunglah, jaman dulu belum ada twitter. Jika sudah ada, apakah nenek moyang kita tetap gemar melaut daripada twitwar? Tsaaah.  

Anyway, Pertengahan bulan Juli lalu, sebuah pesan masuk ke kotak e-mail dari seorang teman yang baru saja dipindahtugaskan ke Makassar. Ia menjanjikan transportasi dari Makassar ke Tanjung Bira. Wah! Tanpa berpikir dua kali, ajakan itu langsung saya sambut dengan baik. Ngomong-ngomong soal Tanjung Bira, tahun lalu saya pernah solo traveling ke Tanjung Bira. Sayangnya saat itu laut sedang pasang dengan air yang berwarna kecoklatan dengan visibility tidak sampai lima meter karena cuaca yang mendung sepanjang hari.

Tidak mau mengulang kejadian yang sama, saya memutuskan mencari destinasi lain di Bulukumba, selain Tanjung Bira. Dari hasil pencarian di Google, destinasi wisata terdekat dengan Tanjung Bira adalah Tanah Beru. Dari cerita-cerita yang saya dapat, Tanah Beru terkenal dengan pengerajin Kapal Pinisi yang sudah terkenal dari abad ke-19. Suku Bugis lah yang memelopori industri kapal Pinisi di Tanah Beru. Uniknya, dari dulu hingga sekarang seluruh pembuatan kapal masih menggunakan tangan. Karena penasaran ingin melihat langsung, akhirnya kami pun sepakat mengunjungi Tanjung Bira dan Tanah Beru.

IMG_355.jpg

Dari Makassar ke Bulukumba membutuhkan waktu kurang lebih empat hingga lima jam. Tranportasi termudah saat ini memang menggunakan mobil pribadi. Tapi, untuk sahabat misqin seperti saya, membayar 800 ribu untuk rental mobil rasanya sayang betul, apalagi jika traveling sendiri. Pilihan termurah yaitu menggunakan bis yang berangkat malam hari dari Makassar, dan tiba di Bulukumba pada pagi hari. Bisa dibayangkan lamanya perjalanan jika menggunakan bis. Untunglah, perjalanan saya kali ini full sponsored untuk urusan mobil. Saya hanya bermodal rela dan ikhlas bergantian menyetir jika teman saya mulai lelah menanggung hidup.

 

Setelah dari Tanjung Bira, yang memang kami kunjungi dalam waktu singkat, kami langsung bertolak ke Tanah Beru. Sepenjang perjalanan dari Tanjung Bira ke Tanah Beru pemandangannya cukup memanjakan mata. Pada kilo meter pertama pemandangan yang kami dapat adalah pantai berpasir putih dengan airnya yang berwarna biru turquoise lengkap dengan sinar matahari yang berpendar mengenai permukaan air. Pada kilo meter berikutnya, pemandangan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit dengan pohonnya yang menjulang tinggi. Sebentar kami meninggalkan kebun sawit, pemandangan sudah berubah menjadi bukit savana dengan pantai lepas di kejauhan. Yum! Jangan khawatir soal jalan, jalan di Bulukumba sudah merupakan jalan provinsi, jadi semua rute sudah teraspal dengan halus. Mendekati Desa Tanah Beru, kami mulai menyaksikan kayu-kayu yang menjulang tinggi di permukaan laut yang beberapa mulai tersusun menjadi kerangka kapal.

Hanya gapura bertuliskan ‘Kawasan Industri Kapal Rakyat’ yang menjadi penanda kami tiba di Tanah Beru. Semangat pengarung lautan pun terasa kental di sini. Di beberapa rumah yang memiliki halaman luas, terdapat perahu berukuran kecil hingga sedang diparkir di depannya. Yup, yang diparkir di sini memang bukan Velvire atau Lamborgini keluaran terbaru. Tapi sebuah kapal yang harganya bisa untuk membeli mobil-mobil itu.

IMG_364.jpg

Rumah-rumah penduduk di Tanah Beru rata-rata berbentuk panggung. Karena Desa Tanah Beru terletak di pesisir pantai, profesi rata-rata masyarakat di sini, ya kalau tidak sebagai pengerajin kapal Pinisi, pastilah sebagai nelayan. Mobil segera kami parkirkan di sebuah warung makan. Selepas makan siang dengan seporsi ikan asap, kami bertanya kepada ibu pemilik warung di mana kami bisa mendapatkan informasi tentang pembuatan kapal Pinisi. Ibu itu mengarahkan kami ke pantai, tempat di mana tiga kerangka besar kapal Pinisi sedang dibuat oleh lima orang bapak-bapak.

Tanya-tanya saja kepada bapak-bapak di situ‘ Katanya.

 

Bergegas kami berjalan ke arah tiga kerangka besar kapal sedang dibuat. Dua diantaranya seperti hampir selesai dengan deck sudah terpasang. Satu yang lain seperti sedang dibuat kerangkanya. Jika diperhatikan, kerangka Pinisi menyerupai kerangka tulang paus atau hiu raksasa. Begitu megah kapal-kapal ini.

Seorang bapak bernama Pak Ulli menyapa kita yang sedang sibuk mengagumi setiap bagian dari kapal Pinisi. ‘Ini baru selesai bagian lunasnya’ Katanya sambil menunjuk kapal yang masih berbentuk kerangka tadi. Hah? lunas? Apa itu? Ternyata lunas adalah proses pemangkasan kayu pada bagian dasar kapal sehingga kayu berbentuk datar. Di tahap ini pula, pemilihan kayu dilakukan. Kayu yang baik dan utuh dipakai untuk membuat lunas. Sementara, kayu yang tidak terpakai akan dilarung ke pantai. Agar dasar kapal kuat menopang berat kapal dan sentakan ombak nantinya, dipilih kayu jenis besi.

IMG_359.jpg

Menurut Pak Ulli, tahap lunas merupakan prosesi paling penting sebelum lanjut ke tahap-tahap selanjutnya. Maka dari itu, upacara pemotongan ayam dengan sesajen khusus dibuat demi keselamatan pekerja dan si kapal nantinya.

IMG_358.jpg

Setelah tahap lunas selesai, barulah dipasang kerangka kapal bagian bawah yang berbentuk melengkung sebagai perut kapal atau yang disebut teralas. Pada tahap ini barulah seorang punggawa atau mandor bekerja. Tugasnya adalah menentukan titik badan kapal, kekuatan konstruksi, dan menyeimbangkan kapal agar kapal tidak miring ketika di air nantinya. Nah, Pak Ulli ini bekerja sebagai punggawa kapal. Beliau sudah mengerjakan kapal sejak kecil, dan ilmu tentang perkapalan telah diturunkan oleh nenek moyangnya sejak dulu. Keren bener!

IMG_363.jpg

Pak Ulli menjelaskan tahap akhir dari sebuah kapal Pinisi adalah jika sudah terpasang landasan deck. Jaman dahulu, sebuah Pinisi selesai jika sudah terpasang tujuh tiang agung dengan layar yang mengembang sebagai penggerak kapal. Namun sekarang, jarang ada kapal yang digerakkan menggunakan layar. Rata-rata konsumen meminta kapal yang digerakkan oleh mesin.

Proses pembuatan satu buah kapal Pinisi bisa memakan waktu satu hingga dua tahun tergantung tingkat kerumitan kapal. Sebelum dilepas di pantai, kapal Pinisi buatan Tanah Beru akan melewati proses upacara lagi untuk meminta keselamatan buat calon pengguna kapal dan kapal itu sendiri. Melihat rumitnya proses pembuatan Pinisi, saya jadi penasaran berapa harga untuk satu buah kapal. Pak Ulli menunjuk sebuah kapal yang sudah selesai bagian buritannya.

Kapal itu harga jadi 7 milliar’ Waks! Menurut beliau, untuk harga semahal itu peminat kapal Pinisi hanya orang-orang tertentu. Ada pengusaha bongkar muat barang dan pengusaha kapal wisata cruise. 

Jarang orang Indonesia ada beli, kebanyakan Cina, Spanyol, dan Perancis’. Begitu kata Pak Ulli. Mendengar penjelasan Pak Ulli saya jadi bangga. Bagaimana tidak, kapal buatan tangan Suku Bugis telah membelah banyak samudra di dunia. Jangan ditanya soal pengetahuan navigasi dan maritim, semua itu masih dilakukan secara manual dengan tingkat hitungan yang sangat presisi. Dari sini saya jadi percaya, pendidikan itu tidak harus di dalam kelas. Toh, nenek moyang kita mendapat ilmu tentang membuat kapal dan kemaritiman di atas kapal, bukan di dalam kelas.

 

9 thoughts on “Tanah Beru: Tanahnya Para Pelaut

  1. Salam kenal Ka…

    Saya rina, mau tanya ka…klo utk ke tana beru utk liat pembuatan kapal pinisinya apa hrs ada ijin khusus?
    Apa semua penduduk di tana beru sebagai pembuat kapal pinisi…kebetulan ada rencana kesana dengan teman. O iya klo boleh tau wkt kesana butuh berapa hari ya?

    Makasih

Leave a comment